Sampai putusan terakhir kampanye Pemilu anggota Legislatif (pileg) tidak juga terdengar adanya agenda pemenuhan hak asasi dari parpol maupun caleg. Ketiadaan agenda hak asasi manusia ini menandakan bahwa parpol dan caleg sesungguhnya tidak memiliki kompetensi sebagai wakil rakyat. Karena mereka tidak memiliki militansi untuk memikul tugas besar penegakan hak asasi manusia paska rejim orde baru.
Semua partai dan caleg memiliki agenda yang seragam dan memanipulasi fakta yang membodohi rakyat. Penampilan iklan/slogan parpol yang peduli pada pendidikan, pertanian, dan kaum miskin penuh paradoks. Bila mengingat peran peran tokoh parpol itu dimasa lalu. Mereka dahulu penculik para mahasiswa, perebut tanah petani sekaligus memberi stigma komunis yang melawan, berkolusi dengan pengusahan dalam/luar negeri bagi konsesi pribadi atau kelompok yang menggusur kaum miskin, mematikan masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup.
Kebutuhan pemenuhan hak-hak dasar seperti pangan, pendidikan dan pekerjaan memang tidak dapat dipungkiri. Tetapi negara ini juga harus terus didorong untuk menjadi negara yang beradab. Dimana pemenuhan hak-hak rakyat menjadi prioritas penegakan hukum berlaku bagi masyarakat kecil maupun pengusaha /penguasa, dan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi menjadi musuh bersama.
Sekalipun kebebasan telah kita nikmati, namun kebenaran dan keadilan masih menjadi barang mewah di negeri ini. Korban Lapindo hingga saat ini terus menerus dipermainkan. Pengungkapan pembunuhan Munir berjalan lamban dan penuh konspirasi. Penuntasan pembunuhan mashasiwa/masyarakat pada kasus Penculikan aktivis 97-98, Tragedi Mei, talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II selalu dihambat oleh kejaksaan Agung dan DPR. Tragedi 65 menemui kebuntuan. Sementara pada kasus Timor Timur dan Tanjung Priok ‘84 semua pelaku dibebaskan oleh Mahkamah Agung yang menyisakan peristiwa beserta korbannya sebagai fakta. Pengerukan, penebangan dan jual murah sumber daya alam menjadi lakon negara.
Di negeri ini hukum hadir bagai kilat bagi para pencuri ayam, tapi tak berkutik menghadapi para pembunuh/penculik berpangkat, atau pengusaha yang sedia menyuapi penguasa. Impunitas (kekebalan hukum) para pelaku yang diberikan oleh negara ini telah memutar balik jarum jam. Negara malah memfasilitasi para pelaku pelanggaran HAM menjadi pejabat negara, mendirikan parpol bahkan menjadi calon presiden.
Kenyataan ini bagai deklarasi diam-diam negara bahwa hukum negeri ini memiliki kasta. Ketidakberdayaan masyarakat menghadapi kenyataan ini berbuah sikap apatis dan skeptis. Bila dibiarkan, sesungguhnya kita tengah mempersiapkan bangsa permisif terhadap kejahatan negara dan cenderung kembali ke rejim anti kemanusiaan.
Pada situasi ini bila parpol dan caleg tidak memiliki militansi pada tema-tema kebenaran dan keadilan, kita hanya tengah menyiapkan kuasa bagi para pecundang dan penindas. Mereka-mereka yang lebih siap menjadi raja daripada pembela rakyat. Pemilu tanpa agenda penegakan hak asasi manusia adalah penghianatan terhadap kemanusiaan. Pemilu mekanik yang tidak memberi makna bagi kebaikan bersama.
( http://www.kontras.org )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar