Minggu, 27 Februari 2011

Konvoi Tolak Politisi Pelanggar HAM Pemilu Tanpa Agenda Hak Asasi Manusia adalah Penghianatan Kemanusiaan

Sampai putusan terakhir kampanye Pemilu anggota Legislatif (pileg) tidak juga terdengar adanya agenda pemenuhan hak asasi dari parpol maupun caleg. Ketiadaan agenda hak asasi manusia ini menandakan bahwa parpol dan caleg sesungguhnya tidak memiliki kompetensi sebagai wakil rakyat. Karena mereka tidak memiliki militansi untuk memikul tugas besar penegakan hak asasi manusia paska rejim orde baru.

Semua partai dan caleg memiliki agenda yang seragam dan memanipulasi fakta yang membodohi rakyat. Penampilan iklan/slogan parpol yang peduli pada pendidikan, pertanian, dan kaum miskin penuh paradoks. Bila mengingat peran peran tokoh parpol itu dimasa lalu. Mereka dahulu penculik para mahasiswa, perebut tanah petani sekaligus memberi stigma komunis yang melawan, berkolusi dengan pengusahan dalam/luar negeri bagi konsesi pribadi atau kelompok yang menggusur kaum miskin, mematikan masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup.

Kebutuhan pemenuhan hak-hak dasar seperti pangan, pendidikan dan pekerjaan memang tidak dapat dipungkiri. Tetapi negara ini juga harus terus didorong untuk menjadi negara yang beradab. Dimana pemenuhan hak-hak rakyat menjadi prioritas penegakan hukum berlaku bagi masyarakat kecil maupun pengusaha /penguasa, dan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi menjadi musuh bersama.

Sekalipun kebebasan telah kita nikmati, namun kebenaran dan keadilan masih menjadi barang mewah di negeri ini. Korban Lapindo hingga saat ini terus menerus dipermainkan. Pengungkapan pembunuhan Munir berjalan lamban dan penuh konspirasi. Penuntasan pembunuhan mashasiwa/masyarakat pada kasus Penculikan aktivis 97-98, Tragedi Mei, talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II selalu dihambat oleh kejaksaan Agung dan DPR. Tragedi 65 menemui kebuntuan. Sementara pada kasus Timor Timur dan Tanjung Priok ‘84 semua pelaku dibebaskan oleh Mahkamah Agung yang menyisakan peristiwa beserta korbannya sebagai fakta. Pengerukan, penebangan dan jual murah sumber daya alam menjadi lakon negara.


Di negeri ini hukum hadir bagai kilat bagi para pencuri ayam, tapi tak berkutik menghadapi para pembunuh/penculik berpangkat, atau pengusaha yang sedia menyuapi penguasa. Impunitas (kekebalan hukum) para pelaku yang diberikan oleh negara ini telah memutar balik jarum jam. Negara malah memfasilitasi para pelaku pelanggaran HAM menjadi pejabat negara, mendirikan parpol bahkan menjadi calon presiden.

Kenyataan ini bagai deklarasi diam-diam negara bahwa hukum negeri ini memiliki kasta. Ketidakberdayaan masyarakat menghadapi kenyataan ini berbuah sikap apatis dan skeptis. Bila dibiarkan, sesungguhnya kita tengah mempersiapkan bangsa permisif terhadap kejahatan negara dan cenderung kembali ke rejim anti kemanusiaan.

Pada situasi ini bila parpol dan caleg tidak memiliki militansi pada tema-tema kebenaran dan keadilan, kita hanya tengah menyiapkan kuasa bagi para pecundang dan penindas. Mereka-mereka yang lebih siap menjadi raja daripada pembela rakyat. Pemilu tanpa agenda penegakan hak asasi manusia adalah penghianatan terhadap kemanusiaan. Pemilu mekanik yang tidak memberi makna bagi kebaikan bersama.

( http://www.kontras.org )

Tunisia dan Mesir Terinspirasi Demokrasi di Indonesia

Gejolak politik yang terjadi di Timur Tengah saat ini, khususnya di Tunisia dan Mesir, tidak berdiri sendiri. Kedua negara itu langsung atau tidak langsung terinspirasi oleh perjuangan demokrasi yang dilaksanakan oleh mahasiswa Indonesia pada tahun 1998. Indonesia hidup dengan suku dan etnis beranekaragam, namun dalam bingkai negara demokrasi.

‘’Ini adalah ‘real story’, saat Indonesia pada tahun 1998 berubah menjadi sebuah negara demokrasi,’’ kata Duta Besar Pelastina untuk Indonesia Fariz Medhawi ketika berbicara dalam Simposium Internasional yang bertajuk ‘’Palestina sebuah Pesan Kemanusiaan dalam Seruan Keadilan untuk Dunia’’ yang dibuka Rektor Unhas di Auditorium Prof.Amiruddin Kampus Tamalanrea, Sabtu (19/2).

Dalam kuliah umum bertajuk ‘’Palestina Masa Lalu, Kini dan Prospek Masa Datang,’’ Medhawi menyebutkan permasalahan konflik antara Palestina dengan Israel berpangkal pada posisi Palestina sebagai sangat strategis, peranan keyakinan, gerakan Zionis, dan ‘joint venture’ (Israel).

Ia menegaskan, penduduk Palestina saat ini 440.000 jiwa. Dari jumlah itu, 384.200 beragama Islam, 39.600 beragama Kristen, dan 13.000 merupakan komunitas Yahudi. Dalam rencana partisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1947, wilayah Palestina terdiri atas 56% dikuasai Israel, 42% dan 2% merupakan jumlah yang dipisahkan untuk Jerussalem dan Bethlehem yang di bawah perwalian internasional.

Ketika terjadi Perang tahun 1948 (Perang Yom Kippur), Israel melakukan ekspansi mencapai 78% wilayah Palestina. Pada perang enam hari tahun 1967, Israel mencaplok Wilayah Tepi Barat, Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Pada tahun 1964 terjadi basis revolusi yang dilaksanakan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Organization).

Antara tahun 1967 hingga 1993, sekitar 180 pemukiman Palestina dikelilingi kawasan pemukiman baru Israel. Sekitar 10.500 orang Palestina dari 75.000 terkurung dalam periode ini. Sekitar 13.350 buah rumah dirusak.

Berbicara mengenai kemungkinan kerja sama dalam bidang pendidikan di universitas, Fariz Medhawi mengatakan, pihaknya tahun ini akan mencoba mengorganisasi sejumlah mahasiswa Indonesia untuk belajar di Palestina. Kunjungan ini dapat dilakukan dengan kerja sama Kementerian Pendidikan Nasional. Mahasiswa kedua Negara dapat mengambil satu semester di Palestina dan begitu juga sebaliknya.

‘’Kita juga memiliki universitas unggulan di Palestina,’’ kata Medhawi yang mengaku belajar bahasa Indonesia bersama-sama istri dan anaknya.

Ia mengharapkan gagasan dan pikiran dari kalangan mahasiswa Indonesia untuk membantu Palestina keluar dari konflik berkepanjangan dengan Israel. Palestina sudah tidak menaruh harapan banyak pada upaya Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam penyelesaian konflik ini.

‘’Di Indonesia Obama bicara bagus, senang bakso dan nasi goring. Di Mesir dia juga bicara bagus, tapi itu orang bohong sekali,’’ ujar Medhawi dalam bahasa Indonesia.

Rektor Unhas Idrus A Paturusi mengatakan, Indonesia termasuk salah satu negara yang tetap konsisten memberikan bantuan terhadap perjuangan Palestina. Salah satu bukti komitmen tersebut, hingga saat ini Indonesia belum membuka hubungan diplomatic dengan Negara Yahudi tersebut.

Idrus A Paturusi pasca penyerangan terhadap Kapal Perdamaian Mavi Marmara yang mencoba menembus Gaza, bersama Wakil Rektor IV Prof.Dr.Dwia Aries Tina P, M.A. sempat memasuki wilayah Palestina dan wilayah yang di bawah otoritas Israel.

Simposium internasional sehari di Unhas tersebut dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang menyesaki auditorium Amiruddin.Usai kuliah umum, Dubes Palestina Fariz Medhawi menyerahkan cendera mata kepada Rektor Unhas, begitu pun sebaliknya.

( http://www.unhas.ac.id )