Senin, 27 Desember 2010

Strategi Pemasaran, Kelemahan Sektor Pertanian

Strategi Pemasaran, Kelemahan Sektor Pertanian

DIRJEN Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (BP2HP), Delima H Azahari, mengakui pengolahan pasca panen dan strategi pemasaran masih menjadi kelemahan utama sektor pertanian.

Menurut dia, lemahnya bidang pengolahan pasca panen dan strategi pemasaran tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembangunan sektor pertanian selama ini yang lebih menekankan pada peningkatan produksi. "Selama Pelita I-IV pembangunan sektor pertanian hanya terpusat pada upaya peningkatan produksi," ujarnya di Jakarta, akhhir pekan lalu.
Ia mengakui pada tahun 1984 Indonesia pernah meraih status swasembada pangan dari yang sebelumnya merupakan negara pengimpor beras terbesar. Namun, dengan adanya perdagangan bebas, Indonesia tidak bisa lagi hanya menekankan pada peningkatan produksi semata tanpa memperhatikan penanganan pasca panen dan pemasaran.
Ke depan diperlukan peningkatan daya saing dan mutu produk pertanian sesuai tuntutan konsumen. Strategi pasar menjadi sangat penting bagi sektor pertanian.
Agar produksi pertanian Indonesia mampu menembus pasar dunia, maka dituntut terpenuhinya mutu yang bagus, harga bersaing serta kontinuitas penyediaan produksi. Sebagai upaya pelaksanaan strategi pemasaran, lanjut dia, diantaranya menggalakkan promosi produk-produk pertanian dalam negeri agar lebih dikenal pasar domestik maupun internasional.

Menyinggung rencana pemberlakuan Bioterorism Act oleh Amerika Serikat (AS), Dirjen menyatakan akan membentuk tim guna mempelajari dampaknya terhadap ekspor produk pertanian Indonesia.
Dia mengakui UU yang mensyaratkan para eksportir yang akan mengirim barangnya ke AS harus melakukan pendaftaran ke FDA/USDA itu dapat memperlambat pengirimannya.
Konsekuensi dari perataruan tersebut, eksportir harus memberitahuan lebih awal yakni dari yang sebelumnya satu minggu sebelum barang diekspor, kini harus sebulan sebelumnya sudah mendaftarkan.
Selain itu, semua ekspor komoditas pertanian ke AS harus melalui pelabuhan yang ditunjuk negara tersebut yakni Singapura. Untuk itu, Deptan akan melakukan sosialisasi UU Bioterorisme kepada eksportir komoditas pertanian dalam negeri, sehingga diharapkan mampu meningkatkan mutu produknya seperti yang dituntut AS.

Produski sawit
Di bagian lain, Delima H Azahari juga memperkirakan pada 2005 akan terjadi kelebihan produksi kelapa sawit di dalam negeri, sehingga untuk menampungnya diperlukan pengembangan industri hilir minyak sawit mentah (CPO).
Produksi kelapa sawit pada 2005 akan mencapai 11 juta ton tandan buah segar (tbs), di mana empat juta ton tbs dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan empat juta ton lainnya diekspor. Jadi, akan terjadi kelebihan produksi sekitar tiga juta ton tandan buah segar kelapa sawit pada 2005.
Jika kelebihan produksi tidak dibarengi pengembangan industri hilir CPO yang mampu menampung komoditas tersebut, dikhawatirkan harga kelapa sawit akan merosot sehingga merugikan petani.
Dengan pengembangan industri hilir produksi kelapa sawit tersebut, dapat diolah menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah. Apalagi selama ini masih banyak kelapa sawit yang diekspor dalam bentuk tandan buah segar, sehingga harganya relatif murah.
Mengenai dana pengembangan industri kelapa sawit yang direncanakan sebanyak 11 unit itu, dia mengatakan akan mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan sebagian dari alokasi Skim Kredit Agribisnis (SKA) sebesar Rp12,4 triliun.
Menurut data Ditjen Perkebunan Deptan, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 1968 sekitar 120 ribu hektar (ha). Jumlah ini meningkat lagi pada 1998 menjadi 2,79 juta ha dan pada 2000 menjadi 3,17 juta ha tersebar di 16 propinsi. (ant/iz)
Strategi Pemasaran, Kelemahan Sektor Pertanian

Pelita: 10 Maret 03

DIRJEN Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (BP2HP), Delima H Azahari, mengakui pengolahan pasca panen dan strategi pemasaran masih menjadi kelemahan utama sektor pertanian.
Menurut dia, lemahnya bidang pengolahan pasca panen dan strategi pemasaran tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembangunan sektor pertanian selama ini yang lebih menekankan pada peningkatan produksi. "Selama Pelita I-IV pembangunan sektor pertanian hanya terpusat pada upaya peningkatan produksi," ujarnya di Jakarta, akhhir pekan lalu.
Ia mengakui pada tahun 1984 Indonesia pernah meraih status swasembada pangan dari yang sebelumnya merupakan negara pengimpor beras terbesar. Namun, dengan adanya perdagangan bebas, Indonesia tidak bisa lagi hanya menekankan pada peningkatan produksi semata tanpa memperhatikan penanganan pasca panen dan pemasaran.
Ke depan diperlukan peningkatan daya saing dan mutu produk pertanian sesuai tuntutan konsumen. Strategi pasar menjadi sangat penting bagi sektor pertanian.
Agar produksi pertanian Indonesia mampu menembus pasar dunia, maka dituntut terpenuhinya mutu yang bagus, harga bersaing serta kontinuitas penyediaan produksi. Sebagai upaya pelaksanaan strategi pemasaran, lanjut dia, diantaranya menggalakkan promosi produk-produk pertanian dalam negeri agar lebih dikenal pasar domestik maupun internasional.
Menyinggung rencana pemberlakuan Bioterorism Act oleh Amerika Serikat (AS), Dirjen menyatakan akan membentuk tim guna mempelajari dampaknya terhadap ekspor produk pertanian Indonesia.
Dia mengakui UU yang mensyaratkan para eksportir yang akan mengirim barangnya ke AS harus melakukan pendaftaran ke FDA/USDA itu dapat memperlambat pengirimannya.
Konsekuensi dari perataruan tersebut, eksportir harus memberitahuan lebih awal yakni dari yang sebelumnya satu minggu sebelum barang diekspor, kini harus sebulan sebelumnya sudah mendaftarkan.
Selain itu, semua ekspor komoditas pertanian ke AS harus melalui pelabuhan yang ditunjuk negara tersebut yakni Singapura. Untuk itu, Deptan akan melakukan sosialisasi UU Bioterorisme kepada eksportir komoditas pertanian dalam negeri, sehingga diharapkan mampu meningkatkan mutu produknya seperti yang dituntut AS.
Produski sawit
Di bagian lain, Delima H Azahari juga memperkirakan pada 2005 akan terjadi kelebihan produksi kelapa sawit di dalam negeri, sehingga untuk menampungnya diperlukan pengembangan industri hilir minyak sawit mentah (CPO).
Produksi kelapa sawit pada 2005 akan mencapai 11 juta ton tandan buah segar (tbs), di mana empat juta ton tbs dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan empat juta ton lainnya diekspor. Jadi, akan terjadi kelebihan produksi sekitar tiga juta ton tandan buah segar kelapa sawit pada 2005.
Jika kelebihan produksi tidak dibarengi pengembangan industri hilir CPO yang mampu menampung komoditas tersebut, dikhawatirkan harga kelapa sawit akan merosot sehingga merugikan petani.
Dengan pengembangan industri hilir produksi kelapa sawit tersebut, dapat diolah menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah. Apalagi selama ini masih banyak kelapa sawit yang diekspor dalam bentuk tandan buah segar, sehingga harganya relatif murah.
Mengenai dana pengembangan industri kelapa sawit yang direncanakan sebanyak 11 unit itu, dia mengatakan akan mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan sebagian dari alokasi Skim Kredit Agribisnis (SKA) sebesar Rp12,4 triliun.
Menurut data Ditjen Perkebunan Deptan, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 1968 sekitar 120 ribu hektar (ha). Jumlah ini meningkat lagi pada 1998 menjadi 2,79 juta ha dan pada 2000 menjadi 3,17 juta ha tersebar di 16 propinsi. (ant/iz)


SUMBER :www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar