Kamis, 18 Oktober 2012

KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS



      I.            Profil perusahaan
RS OM** INTER****
Alamat
Jl. Alam Sutera Boulevard --------
Telepon
(021) 5312 5***
UGD (021) 5312 87**
Faksimili
(021) 5312 8666
Affiliasi
Rumah Sakit Omni Medical Center
Jl. Pulomas Barat VI No. 2***
Kel. Kayu Putih, Pulo Gadu**
Jakarta Timur 1321*
Telepon: (021) 472 3332, 4722 271* (Hunting) UGD (021) 4718**
Faksimili: (021) 47180***
Situs web : Dirahasiakan

Kasus sebuah pelayanan Rumah sakit bertaraf Internasional RS OM** INTER**** Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan perkara gugatan perdata nomor 300/PDG/6/2008/PN-TNG itu sekitar dua pekan yang lalu. Sedangkan persidangan pidana kasus ini akan digelar pekan depan. Kasus ini bermula dari surat elektronik Prita pada 7 Agustus 2008. Email itu berisi keluhannya ketika dirawat di RS OM** INTER**** . Surat yang semula hanya ditujukan ke beberapa temannya itu ternyata beredar ke pelbagai milis dan forum di Internet, dan diketahui oleh manajemen Rumah Sakit Omni. PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, lalu merespons dengan mengirim jawaban atas keluhan Prita ke milis dan memasang iklan di harian nasional. Belakangan, PT Sarana juga menggugat Prita, baik secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari yang dibui Prita Mulyasari, ibu dengan dua anak, ditahan sejak 13 Mei 2009 di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Internasional Omni, Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan.
Prita, warga Vila Melati Mas Residence, Serpong, itu divonis terbukti melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang isinya, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Melalui persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 25 Juni 2009, Majelis hakim menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum atas kasus Prita Mulyasari tidak jelas, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, oleh karenanya melalui persidangan tersebut kasus Prita akhirnya dibatalkan demi hukum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita Mulyasari (32) tidak terbukti secara sah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS OM** INTER****  Alam Sutera Serpong Tangerang Selatan, Selasa (29/12/2009). Keputusan itu dibacakan majelis hakim yang diketuai Arthur Hangewa. Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak rumah sakit sehingga harus membayar kerugian material sebesar Rp161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp100 juta untuk kerugian immaterial. Pada tanggal 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 3 Juni 2009 Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status tahanan diubah menjadi tahanan kota. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan kota. Kasus penahanan yang menimpa Prita Mulyasari memunculkan gelombang protes serta dukungan dari para blogger, praktisi teknologi informasi, hukum, hingga para politisi, dan pejabat negara. Sampai tanggal 5 Juni 2009 dukungan terhadap Prita di Facebook hampir mencapai 150 ribu anggota, begitu pula dukungan melalui blog yang disampaikan para blogger terus bertambah setiap harinya. Beberapa kalangan menilai Prita tidak layak ditahan serta hanya menjadi korban penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tak kurang pula Megawati Soekarno Putri ikut menilai Prita merupakan korban neoliberalisme. Besarnya dukungan serta simpatisan atas kasus ini membuat Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta penjelasan dari Kapolri dan Jaksa Agung, serta meminta seluruh jajaran penegak hukum untuk memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat dalam menjalankan tugas.

Analisis :
Menurut pandangan saya berpendapat bahwa aturan yang RS OM** INTER**** memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka lakukan padahal sudah melanggar hUkum, saya dapat mengatakan pertanggungjawaban secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah atau tidak bermoral. Yang di lakukan Prita dalam mengeluhkan minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, di samping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan Prita kemudian menulis surat elektronik tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis. Ini metupakan suatu kebebesan berpendapat yang di jelasakan dalam undang-undang. Terus terang saya merasa prihatin dan bersimpati pada Prita. Saya merasa dia tak layak dihukum seberat itu, bahkan sampai masuk penjara. Ini jelas teror bagi kita, konsumen, yang sering kali diperlakukan tak layak dan tak adil, tapi ketika mengeluh malah dituduh mencemarkan nama baik. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral yang masuk akal. Ini merupakan suatu pelanggaran etika di dalam ilmu kedokteran bertanggung jawab yang gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral.



Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2011/07/10/0132193/Kejanggalan.Kasus.Prita.Menyeruak




Tidak ada komentar:

Posting Komentar